DIUJUNG JALAN AKU TERJEBAK DI SESAKNYA TERMINAL NURCHOLIS
SAYA KECANTOL untuk berdiri berjam jam di lapak majalah dan koran yang terletak di di Pasar Tengah Tanjungkarang nanti lebiuh dikenal sebagai Bandar Lampung. untuk menggambarkan Tanjunbgkarang dan Teluk betung kota kembar menjadi satu, tentu saja lewat sebuah proses hukum. Sebetulnya yang kucari adalah sudut sahabat pena, yang biasanya termuat di sebuah sudut yang tak lebar, sebagai kata lain dari sempit, di situlah dimuan belasan hingga dua puluhan daftar alamay sahabat pena. Itu yang kami catat secara bergantian, hanya nama nama tertentu yang kami pilih berdasarkan pertimbangan untujng untungan. Tetapi selaku remaja yang berwajah pas pasan , hanya punya pakaian sekolah saja yang masih nampak waras. Tentu saja kita hanya memilih yang selain berwajah pas pasan, kalau bisa memilih uyang memiliki alamat yabg terletak di Gang bukan di Jalan. Itu dilakukan karena pada saat itu kita tak punya FB, apalagi WA dan semacamnya. Pada saat kegiatan itulah saya beberapa kali membaca tulisan Mahbub Djunaidi. Tulisannya seperti cuma becanda tetapi menjelang selesai kok malah beralih seperti serius, atau bisa sebaliknya. Final Goal tulisan itu tak selalu gampang ditebak, bahkan kita justeru sering kecele aliasterkecoh.
Dengan Kanda Anshori Zawawi (alm) pada saat itu beliau lebih duluan meiginjakkan kaki nya di dunia Perguruan Tinggi, Dia berceritera tentang gagasan Nurkholis Majid. banyak sekali pujian yang diberikannya tetapi ceritera itu beliau sampaikan secara berulang ulang. Sehingga akhirnya imajinasi saya bisa berkembang, ibarat lancar kaji karena diulang ulang. Dan sebelumnya saya sudah sering membaca hasil hasil seminar yang diselenggarakan oleh Kelompok Cipayung meliputi HMI,PMII, IMM, GMNI, PMKR dan GMKI
Tetap[i saya bersyukur sebelum saya bergabung ke HMI yang merupakan bagian dari Kelompok Cipayung itu, yaitu kelompok Mahasiswa yang sering mengeluarkan pernyataan yang sering mengeluarkritik kepoada Pemerintah Orde Baru. Msdsm msmposisikan diri sebagai opposan. Untuing sebelum masuk HMI Saya justeru terlebih dahulu magang di PW PII Lampung, oleh sebagian teman teman di HMI sebagian kecil seilah menganggap PII seolah gerakan PII sebagai nonpolitik, tetapi apapun yang mereka ibaratkan, saya merasa bersukur bahwa saya menumkan sikap yang lebih konsisten dalam PII. Tetapi di mata saya HMI dan PII itu sama pentingnya di mata saya dan di hidup kebangsaan saya. Di HMI disebutkan suatu prinsip, sukses berorganisasi, sukses study, tetapi banyak senior yang menyelundupkan satu prinsip sukses pacaran. Sementara PII lebih menonjolkan sukses perjuangan. Saya merasa lebih seru karena saya gabungkan kedanya dalam pemikiran saya.
Saya menyesal sekali pada saat menjasi Mahasiswa saya kurang di polesi dengan pelatihan menulis, padahal pada saat menjadi Mahasiswa saya memiliki peluang kontak dengan Fachri Ali, Azyumardi Azra, Qomaruddin Hidayat, Iqbal Saimima, dan sejumlah nama lainnya. Sebenarnya saya pernah menunjungi kantornya Azyumardi Azra yang terletak di bawah tangga di sebuah sudut gedubg gedubg milik IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu. Padasnya ruangan yang tidak kebagian kipas angin itu tidak menjadi masalah bagi kami berdua berbincang bincang dan berandai andai. Taoi hayalan kami pupus oleh NKK BKK nya Daoed Yoesoef Menteri Pendidikan itu. Sepertinya politik Mahasiswa tak boleh berkembang.