Senin, 16 Agustus 2021

DOA AGUSTUSAN UNTUK AYAH DAN IBUKU (1)

 


YA ... MEREKA  Ayah dan Ibuku  adalah manusia biasa bagi orang lain, tetapi bagiku dan bagi keuarga besarku mereka berdua adalah pahlawan yang memiliki nama Harum yang semerbak, sedikit keharuman nama mereka berdua akan kubagi untuk anak cucunya, saya berharap tulisan ini pada suatu saat akan sampai kiga kepada Cuicu dan Cicit mereka dan seterusnya/ Ini peringatan 17 Agustus 19456 dan ini peringatan yang 76 kalinya, bisa jadi ini adalah Peringatan yang terakhir bagiku, tetapi terserah kepada Allah, kapan beliau akan mengakhiri usiaku yang memang sudah tidak muda lagi.  Banyak mereka yang telah mendahuluiku, ada yang lebih tua usianya, bayak juga yang seusia, serta tak kurang kurang  mereka yang jauhlebih muda. Terlebih di zaman pandemi maka kematian adalah seperti sesuatu yanbg lazim saja, tampa goncangan yang berarti. Setiap Agustusan maka saya selalu berdoa untuk kedua Pahlawan saya itu, apoakah ini merupakan Agustusan yang terakhir entahlah. itu hanya Allah yang tahu. 

Keindahan Ayahku dari Lampung Barat ke Pringsewu ini tidak lain dakarenakan terlalu seringnya Belnda menangkap dan menguruingnya di sell kepolisian setempat, pada saat itu kekuasaan sepenuhnya ada di tangan Pemerintahan Penjajah Belanda.  Baru seminggu beliau dilepas oleh Belanda sudah ada jemputan lagi datang dari Kerui, kesalahan yang dilakukan oleh beliau adalah karena melakukan Pengajian Agama setiap malam Jum'at. Sebelumnya bahkan d=ua kali seminggu secara terbuka dan terang terangan, tetapi semenjak di tangkap dan dikirum oleh Belanda Pengajianpun hanya dilakukan satu kali dalam seminggu dan itupun diam diam, mengaji Quran  terjemahan Haddits, Fikih dan Tauhid. 

Ternyata penyelenggaraan pengajian secara diam diam dan hanya dihadiri orang orang tertentu itu masih tercium pula oleh Pemerintah Kolonial Belanda dan kembali terjadi penjemputan paksa, rupanya mata mata Belanda memang sampaik juga penciumannya hingga ke sebuah perkempungan kecil yang hanya dihuni penduduk yang tak terbilang padat itu, Desa itu bernama Pekon Awi  Belalau. Di penjara memang tidak dilakukan penyiksaan, tetapi tetap saja tersiksa ketika dalam penjara dengan segala peraturan yang ketat, tak boleh keluar ruangan tampa ijin, dibatasi untuk kegiatan cuci, mandi dan bahkan buang air, tidur di lantai kedinginan dan lebih banyak dibiarkan dalam keadaan kelaparan dan kehausan. Sepertinya pada saat itu Pimpinan Adat hanya pasif saja dan tak memiliki kemauan dan kemampuan untuk melindungi keselamatan warganya. 

Begitu dilepaskan maka secara diam diam kelaurga telah berunding di malam buta dengan penuh resiko terutama abcaman dari  binatang. Tetapi itu dinilai akan lebih baik dibanding dengan siksaan Belanda yang tak berprikemanusiaan, sehingga umur yang ada lebih banyak dihabiskan di dalam penjara dibanding menghitup hawa bebnas. Kesalahan di mata Belanda hanya satu yaitu Mengajar mengaja, mengajar sholat dan membacakan terjemahan al Quran di depan para muridnya. Dan memang dalam belajar mengaji saja pada surat  surat tertentu dan ayat ayat tertentu memang tidak boleh dibacakan secara bersuara, apatah lagi membacakan terjemahannya. Karena Belanda menilai bacaan bacaan itu akan berpotensi membuat yang mendengarnya menjadi ekstrimis. Belanda rupanya memiliki kaki tangan mata mata sampai ke desa sekecil Pekonawi sekalip[un. Sehingga tak ada jalan lain kecuali melarikan diri secara diam diam , di saat mata mata dan Belanda sedang lengaj 

                                                      Bersambunbg.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar